Apakah Matematika itu?
Apakah matematika itu?
Hingga saat ini belum ada kesepakatan yang bulat di antara para matematikawan tentang apa yang disebut matematika itu. Sedangkan sasaran penelaahan matematika itu sendiri sebagaimana kita tahu, tidaklah konkrit melainkan abstrak. Oleh karena itu, untuk menjawab apa matematika itu? Sejumlah tokoh memberi definisi, komentar, atau pandangan.
Apakah matematika itu? Hingga saat ini belum ada kesepakatan yang bulat di antara para matematikawan tentang apa yang disebut matematika itu. Sedangkan sasaran penelaahan matematika itu sendiri sebagaimana kita tahu, tidaklah konkrit melainkan abstrak. Oleh karena itu, untuk menjawab apa matematika itu? Sejumlah tokoh memberi definisi, komentar, atau pandangan.
Romberg (dalam Jackson, 1992: 750) mengarahkan hasil penelaahannya tentang matematika kepada tiga sasaran utama. Pertama, para sosiolog, psikolog, pelaksana administrasi sekolah dan penyusun kurikulum memandang bahwa matematika merupakan ilmu yang statik dan disipilin ketat. Kedua, selama kurun waktu dua dekade terakhir ini, matematika dipandang sebagai suatu usaha atau kajian ulang terhadap matematika itu sendiri. Kajian tersebut berkaitan dengan apa matematika itu? bagaimana cara kerja para matematikawan? dan bagaimana mempopulerkan matematika?
Selain itu, matematika juga dipandang sebagai suatu bahasa, struktur logika, batang tubuh dari bilangan dan ruang, rangkaian metode untuk menarik kesimpulan, esensi ilmu terhadap dunia fisik, dan sebagai aktivitas intelektual.
Agak berbeda dengan pendapat di atas, Ernest (1991: 42) melihat matematika sebagai suatu konstruktivisme sosial yang memenuhi tiga premis sebagai berikut: (i) The basis of mathematical knowledge is linguistic language, conventions and rules, and language is a social constructions; (ii) Interpersonal social processes are required to turn an individual's subjective mathematical knowledge, after publication, into accepted objective mathematical knowledge; and (iii) Objectivity itself will be understood to be social.
Selain Ernest, terdapat sejumlah tokoh yang memandang matematika sebagai suatu konstruktivisme sosial. Misalnya, Dienes (dalam Ruseffendi, 1988: 160) mengatakan bahwa matematika adalah ilmu seni kreatif. Oleh karena itu, matematika harus dipelajari dan diajarkan sebagai ilmu seni.
Bourne (dalam Romberg, 1992: 752) juga memahami matematika sebagai konstruktivisme sosial dengan penekanannya pada knowing how, yaitu pebelajar dipandang sebagai mahluk yang aktif dalam mengskostruksi ilmu pengetahuan dengan cara berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini berbeda dengan pengertian knowing that yang dianut oleh kaum absoluitis, di mana pebelajar dipandang sebagai mahluk yang pasif dan seenaknya dapat diisi informasi dari tindakan hingga tujuan (Dewey dalam Romberg, 1992: 752).
Kitcher (dalam Jackson, 1992: 753) lebih menfokuskan perhatiannya kepada komponen dalam kegiatan matematika. Dia mengklaim bahwa matematika terdiri atas komponen-komponen: (1) bahasa (language) yang dijalankan oleh para matematikawan, (2) pernyataan (statements) yang digunakan oleh para matematikawan, (3) pertanyaan (questions) penting yang hingga saat ini belum terpecahkan, (4) alasan (reasonings) yang digunakan untuk menjelaskan pernyataan, dan (5) ide matematika itu sendiri. Bahkan secara lebih luas matematika dipandang sebagai the science of pattern (Steen dalam Romberg, 1992: 754).
Sejalan dengan kedua pandangan di atas, Sujono (1988: 5) mengemukakan beberapa pengertian matematika. Di antaranya, matematika diartikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang eksak dan terorganisasi secara sistematik. Selain itu, matematika merupakan ilmu pengetahuan tentang penalaran yang logik dan masalah yang berhubungan dengan bilangan. Bahkan dia mengartikan matematika sebagai ilmu bantu dalam mengiterpretasikan berbagai ide dan kesimpulan. Pengertian matematika sebagai ilmu tentang struktur yang terorganisir juga dikemukakan oleh Ruseffendi (1988: 261).
Pengertian yang lebih plural tentang matematika dikemukakan oleh Freudental (1991: 1). Dia mengatakan bahwa mathematics look like a plural as it still is in French Les Mathematiques. Indeed, long ago it a plural: four arts (liberal ones worth being pursued by free men). Mathematics was the quadrivium, the sum of arithmetic, geometry astronomy and music, held in higher esteem than the (more trivial) trivium: grammar, rhetoric and dialectic. …As far as I am familiar with languages, Ducth is the only one in which the term for mathematics is neither derived from nor resembles the internationally sanctioned Mathematica. The Ducth term was virtually coined by Simon (1548 - 1620): Wiskunde, the science of what is certain. Wis en zeker, sure and certain, is that which does not yield to any doubt, and kunde means, knowledge, theory.
Dari sisi abstaraksi matematika, Newman (dalam, Jackson, 1992: 755) melihat tiga ciri utama matematika, yaitu; (1) matematika disajikan dalam pola yang lebih ketat, (2) matematika berkembang dan digunakan lebih luas dari pada ilmu-ilmu lain, dan (3) matematika lebih terkonsentrasi pada konsep.
Resource: http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/40/Pembelajaran Matematika Menurut Teori Belajar Konstruktivisme.htm
0 Response to "Apakah Matematika itu?"
Posting Komentar